Oleh: Aaf_046 (mahasiswa ekonomi islam ‘06)

Sejalan dengan waktu, ilmu dan teknologi akan terus berkembang, seiring itu pula manusia akan dituntut untuk selalu berkreasi dan menciptakan hal yang baru. Salah satu hasil kreasi atau pemikiran manusia dalam bidang muamalah atau kegiatan perekonomian adalah system bunga (interest) yang sekarang banyak terimplementasi di lembaga keuangan konvensional. Perjalanan system ini, ternyata banyak menimbulkan masalah, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial-keagamaan.
Dalam hal sosial-keagamaan, umat muslim dibuat bimbang akan kehalalan sistem bunga tersebut. Berbagai kajian tentang bunga bank telah dilakukan dan realitanya bunga banyak mudharatnya dibanding manfaatnya. Ketidakadilan adalah hasil dari penerapan system ini. Lalu yang menjadi pertanyaanya, apakah bunga bank sama seperti riba yang diharamkan di dalam Alquran dan hadist? Pertanyaan seperti inilah yang membuat kebimbangan dikalangan umat muslim. Jawabannya berusaha dicari oleh kalangan ulama dunia, pro dan kontra atas jawaban yang dikeluarkan pun mewarnai problematika umat. Akan tetapi, disini penulis tidak akan membicarakan tentang jawaban ulama yang pro atau menghalalkan dengan keberadaan bunga, tetapi akan membicarakan seputar ulama yang kontra dengan bunga dan implikasinya atas jawaban tersebut terhadap perekonomian.
Fatwa yang terlambat
Keberadaan bunga memang menjadi bahan perdebatan yang sengit dikalangan ulama. Ulama yang kontra dengan keberadaan bunga bank telah menelurkan sebuah fatwa. Fatwa tersebut diantaranya dikeluarkan oleh , Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir mengeluarkan fatwa pada bulan Mei tahun 1965, lalu disusul oleh Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985 dan beberapa Forum Ulama Internasional juga mengeluarkan fatwa serupa. Di Indonesia lembaga yang mempunyai otoritas dalam hal fatwa adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang juga telah mengeluarkan fatwa pada 24 januari 2004. Jika dibandingkan dengan Negara-negara muslim lainnya Indonesia bisa dibilang terlambat. Keluarnya fatwa tersebut mendapat tanggapan yang beragam dari barbagai kalangan, baik dari pakar perbankan, ekonom, para pelaku bisnis muslim, dan bahkan menjadi pembicaraan yang hangat bagi sebagian besar umat muslim yang dalam kegiatan ekonominya bersentuhan dengan perbankan konvensional pada waktu itu, mungkin bahkan sampai sekarang.
Aset perbankan nasional.
Setelah kurang lebih 6 tahun keluarnya fatwa MUI tersebut, ternyata fakta di lapangan masih banyak umat muslim yang masih berhubungan dengan lembaga riba tersebut, hal ini dapat dilihat dari market share perbankan konvensional yang mencapai 62,20 % pada akhir Desember 2007, dengan jumlah total kantor perbankan konvensional yang selalu meningkat. Data Bank Indonesia menyebutkan dari 6765 kantor pada tahun 2001 menjadi 9697 pada desember 2007. Dan total Asset perbankan konvensional pada tahun 2007 mencapai Rp 1.986,5 triliun, mengalami peningkatan yang signifikan tiap tahunnya. Coba bandingkan dengan perbankan syariah, data dari Bank Indonesia menyebutkan Aset perbankan syariah tahun 2007 BUS dan UUS Rp 36,53 triliun hanya tumbuh 30% dari total perbankan nasional, dengan 568 kantor dari 3 BUS (Bank Umum Syariah) dan 26 Unit Usaha Syariah (UUS) dan market share yang telah ditargetkan perbankan syariah tahun 2008 sebesar 5% tidak mampu dicapai. Jika dilihat dari data diatas, perkembangan perbankan syariah mengalami peningkatan tetapi tidak sesignifikan perbankan konvensional.

Dari fakta di atas dapat disimpulkan, bahwa pasca keluarnya fatwa MUI pada tahun 2004 tentang haramnya bunga bank tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Hal ini juga menggambarkan bahwa adanya fatwa tersebut tidak berpengaruh kepada masyarakat muslim khususnya, untuk behijrah dari bank berbasis riba ke bank syariah. Mungkin banyak factor yang mempengaruhi perkembangan perbankan syariah di Indonesia, salah satunya adalah fatwa MUI. Penduduk Indonesia dengan mayoritas muslim, adanya fatwa tersebut seharusnya mampu berperan banyak dan dapat dijadikan pegangan umat dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi yang berkaitan dengan muamalah maupun ibadah. Dan dapat menjadi ketetapan syara’ yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh setiap umat muslim. Bukannya untuk mencari ketetapan hukum lain yang sejalan dengan keinginan pribadi untuk mengejar kepentingan komersil semata. Sehingga, dengan adanya fatwa yang harus dipatuhi oleh masyarakat khususnya muslim dapat dijadikan modal untuk mengimplementasikan system ekonomi syariah dalam kegiatan bermuamalah dan memajukan perbankan syariah di Indonesia.