Oleh: Hasti Nahdiana

Akhir-akhir ini semakin orang dibuat pusing kepala akibat banyak sekali perobahan cara calon legislatif mempromusikan diri dijelang pemilu legislatif yang akan datang, sepanjang jalan bisa kita lihat foto-foto terpajang dengan ukuran besar-besar. Seolah ingin menunjukkan memang saat sekarang lah komposisi kualitas personal menggeser mesin politik `partai` dalam artikulasi Politik di tanah air. Persoalan apakah mereka memiliki kemampuan ataukah tidak itu belakangan, yang penting : `Yok tampil secantik mungkin`.

Semakin menurunnya tanggapan masyarakat terhadap pemilihan Umum juga menjadi sebab mengapa MUI melakukan fatwa ini, disamping tadi krisis kepercayaan masyarakat dan krisis kepercayaan diri lembaga legislatif. Akan tetapi benarkah fawa MUI tentang pelarangan rokok dan Golput sudah menjadi semangat `tajdid` dalam mewakili kepentingan umat di Indonesia, khususnya Islam ? mari kita cermati.
Selama ini fatwa-fatwa MUI memang bersifat tidak mengikat, karena secara umum, fatwa-fatwa tersebut sangat bergantung pada kecenderungan religius seseorang. Bagi sebagian umat yang sangat hati-hati dan jumud pemikirannya tentu fatwa-fatwa menjadi acuan utama yang terkadang dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Akan tetapi kalau makna fatwa menjadi kepentingan publik, maka arti sosialnya adalah benarkah fatwa tersebut sudah benar-benar mewakili artikulasi publik? Kita tahu Golput adalah pemenang Pemilihan Umum (PEMILU) di setiap tahunnya. Karena disebagian besar lini di daerah-daerah pemungutan suara selalu GOLPUT yang memiliki `suara` terbanyak. Kalkulasi PEMILU kemarinpun menurut data KPU hampir 30% lebih. Jadi kalau GOLPUT menjadi partai baru tentulah dia Partai terbesar, bukan PDI ataupun GOLKAR. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah interpretasi umum bahwa GOLPUT bukanlah bentuk partisipasi politik yang baik dalam pemilihan, sehingga Pemerintah yang dalam hal ini adalah pekerja politik tidak lebih diuntungkan karena simbol pilihan lain masyarakat ini. Semakin besar peserta GOLPUT maka semakin berkuranglah konstitusi dan legalitas demokrasi di republik ini.
Alasan lain adalah tentu dalil politik. Mempertimbangkan sudah banyaknya Pemimpin `yang dianggap` bisa mewakili sebagian besar umat sebagai calon pemimpin yang ideal. Sehingga dalam pemikiran yang dirujuk pandangan Ibn Taimyah menjadi wajib memilih seorang pemimpin yang dolim apabila dalam kurun waktu yang ditentukan belum ditentukan siapa yang menjadi kepala negara. Apalagi kriteria pemimpin yang baik itu sudah ada. Benarkah demikian? Kalau dalilnya adalah kehati-hatian seperti pemikiran Al-mawardi (Al-ahkmã as- Sultãniyya) sebagai catatan standar politik Islam, maka mencari pemimpin ideal tidaklah berpegang kepada keterdesakan waktu, akan tetapi terkadang pilihan untuk tidak mengikuti imam dan meninggalkannya menjadi jalan yang terbaik apabila akhlak para pemimpinnya dianggap tidak baik. Jadi wajibkah kita memilih pemimpin?
GOLPUT juga bukan simbol keterputusasaan, mereka tetap bagian artikulasi politik yang sarat dengan simbol gerakan moral, tidak memiliki kepentingan dan konsentrasi politik tertentu tapi efeknya memiliki tekanan politik yang cukup besar yaitu moral. Kalau lembaga-lembaga politik tidak bisa melakukan perannya maka simbol-simbol morallah yang dapat menggugah nurani masyarakat dengan jujur. Karena apabila proses demokrasi ini sudah bisa berjalan dengan baik, maka secara otomatis, keberadaan GOLPUT akan berkurang dengan sendirinya tanpa harus difatwakan lagi. Ini hanya persoalan psikologi masyarakat saja.
Mengenai Rokok, itu juga tidak masuk akal, memang MUI selalu masuk dan mencampuri ranah-ranah yang tidak masuk akal, karena keberadaan lembaga inipun masih perlu dikaji kembali apa tugas dan fungsinya. Rokok, kita tahu adalah pemasukan terbesar dari pendapatan pajak negara dalam cukai rokok banyak sekali anggaran yang bisa membantu perkembangan infrastruktur seperti pendidikan bahkan kesehatan. Mungkin karena sekali lagi negara kita tidak dibangun dengan konstitusi sebagaimana negara Islam, maka intervensi apapun sebuah lembaga atas nama agama yang bisa mempengaruhi kebijakan negara menjadi tidak relevan lagi. Kecuali ajakan menghindari rokok karena alasan kesehatan yang keluar dari Departemen Kesehatan atau sejenisnya yang memang berhubungan dengan dampak mengkonsumsi rokok.
Disamping pilihan pemerintah tentang larangan rokok sangat ambigu, Pemerintah juga tidak memiliki pijakan yang pasti alasan atas pelarangan, apabila disatu sisi Pemerintah juga masih melegalkannya. Sama seperti kasus di Kuba, Colombia, di mana negara tersebut memperbolehkan produksi ganja. Tentu hal ini relevan karena pemerintah konsisten antara konstitusi yang berasal funding fathersnya, maupun kebijakan pemerintahnya. Secara pribadi, merokok adalah hak individual, karena kemubahannya.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dalam opini Fatwa MUI tentang GOLPUT ini adalah sama dengan realitas haram merokok, Padahal kita tahu bahwa hukum asal dari merokok adalah mubah. Tidak diketemukan dalam Al- Quran maupun hadis yang mengatakan bahawa rokok itu haram. Baik dari kaidah-kaidah fikih dalam mengharamkannya (qowaid al fiqhiyah fi at tahrim) dengan jelas kata `rokok` itu diharamkan kecuali yang dijelaskan secara tertulis (manthuq). Peristiwa-peristiwa sosial seperti efek GOLPUT, ROKOK tersebut timbul di lapangan, sehingga ulama yang satu dengan yang lain berbeda pandangan. Ada yang cara berpikirnya dipengaruhi oleh lingkungan dan tempatnya berada. Oleh karena itu sebagian dari ulama itu ada yang melakukan ijtihad, pembicaraan tentang pembentukan dan pengembangan hukum dan pengambilan keputusan hukum atau istimbat sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Karena perbedaan pendapat. Bila terjadi, perbedaan pendapat itu maka kembalilah ke hukum asalnya. GOLPUT dan ROKOK adalah MUBAH
aterimakasih