Oleh: Ahmad Ta'rifin, MA
Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan)

Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis yang kerap kali diminta menjadi Tim Pemantau Independen (TPI) pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di Kota Pekalongan.
Pada kenyataannya setelah UN diselenggarakan lebih dari lima kali sejak tahun akademik 2003/2004, itupun dengan standar nilai kelulusan yang sangat minim (tahun 2006:4.00; 2007:4.25; 2008:4.50) dan masih diterapkannya sistem konversi (katrol) nilai, agaknya penulis mulai ragu terhadap i'tikad baik pemerintah untuk menjadikan UN sebagai standar kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan pendidikan nasional.
Pertama, alat pengukur dikatakan valid apabila bisa mengukur sesuai dengan ukurannya, seperti kilogram (kg.) untuk mengukur berat; meter untuk mengukur jarak, dan lain-lain. Demikian halnya UN akanbisa dinilai sebagai alat ukur jika secara keseluruhan mampu mengatasi persoalan mutu pendidikan. Hal ini bisa diindikasikan dengan adanya perubahan mutu siswa/lulusan, antara sebelum dan sesudah pelaksanaan UN. Jika tidak, maka UN tidak dapat dijadikan standar. Tetapi jika ada perubahan positif, maka UN bisa dijadikan standar mutu pendidikan.
Kedua, alat ukur dikatakan relialibel manakala bisa dipercaya sebagai alat ukur. Standar meter sebagai alat ukur jarak, sama di belahan dunia manapun. Demikian juga kilogram, bisa dipercaya sebagai standar berat internasional. Maka, jika hasil UN berjalan secara konsisten, ditandai dengan adanya peningkatan mutu pendidikan secara konsisten dan berlaku (berjalan) lama, maka UN bisa dijadikan sebagai alat pengukur standar mutu pendidikan nasional.

Pertanyaannya, apakah UN yang telah berjalan 5 tahun ini telah menunjukkan dirinya sebagai alat ukur pendidikan nasional yang valid dan realiabel? mungkinkah hanya dengan tiga bidang studi --tahun 2008 empat bidang studi-- (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan Bahasa Inggris untuk tingkat SLTP), UN bisa dijadikan representasi bagi puluhan bidang studi lainnya dan alat pengukur mutu pendidikan?
Agaknya kebanyakan kita sepakat untuk menjawab tidak. Apalagi, jika dikaitkan dengan persoalan kompetensi, yang saat ini diyakini sebagai orientasi mutu pendidikan nasional. Tentu, di sini kita menemukan sebuah paradoks. satu sisi, pemerintah mensentralisasi pelaksanaan UN dengan 3 atau 4 bidang studi saja, sementara dari sisi lain, kompetensi siswa sesuai keahlian masing-masing diabaikan. Bagaimana dengan siswa yang hebat dalam pelajaran agama sementara lemah dalam Bahasa Inggris misalnya. Atau bagaimana nasib siswa yang kuat dalam bidang maatematika tetapi lemah dalam pelajaran Bahasa Indonesia?
Oleh karena itu, menurut saya, UN harus dilaksanakan secara integral bukan hanya oleh Pusat tetapi juga oleh sekolah sebagai representasi akar rumput pendidikan. OK, kalau 4 bidang studi di atas dijadikan orientasi kompetensi dasar siswa dilaksanakan secara sentralistik. Tapi, mata pelajaran lain yang tidak diujikan pun mesti mendapat porsi sederajat dengan 4 bidang studi di atas. Tentu, dengan kesadaran ini, pemerintah harus terbuka kepada publik bahwa penentuan kelulusan siswa bukan semata didasarkan pada hasil UN tapi mempertimbangkan proses pembelajaran selama tiga tahun dan nilai-nilai siswa dari bidang studi lain.
Sungguh naif bila dunia pendidikan kita mengedepankan UN dan menafikan proses pembelajaran. Padahal dalam pandangan sebagian masyarakat, entitas pendidikan justru tercover dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Adalah rumit mengukur perubahan karakter, pengetahuan, pemahaman dan kualitas siswa "hanya dengan" UN yang kognitif sentris. Perubahan prilaku dan penguasaan kompetensi tidak mungkin diperoleh dengan jalan instan: 3 hari saja!
Kesungguhan pemerintah yang "memaksakan" UN memunculkan kesan bahwa untuk bisa lulus, sejatinya seorang siswa tidak perlu masuk kelas dan tidak perlu berproses dalam belajar mengajar yang mengedepankan aspek kognitif, afektif fan psikomotorik dalam kegiatannya. cukup ikut bimbingan belajar, latihan try out soal ujian tahun-tahun sebelumnya, ikut UN, dan lulus!
Padahal, pendidikan dalam "sistem UN" direduksi menjadi pengajaran. Pengajaran direduksi lagi menjadi "latihan mengerjakan soal/bimbel". Nilai-nilai pendidikan yang mensyaratkan tercapainya aspek koginitif, afektif dan psikomotorik menjadi tidak berdaya dan membudaya di kelas.
Jika sudah demikian, buat apa Ujian Nasional? Lebih baik kita menyerahkan penyelenggaraan ujian kepada masing-masing sekolah, karena tidak dipungkiri, sekolah dan guru lah yang mengetahui secara persis kemampuan para siswanya. Bila kita mau mengembalikan ujian kepada sekolah, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah jangan lagi diabaikan. Fungsi guru sebagai "pengajar" ditingkatkan lagi menjadi "pendidik". Sekolah tidak lagi menjadi "lembaga bimbingan belajar (bimbel)" tetapi lebih dari itu menjadi tempat untuk memupuk benih para pembelajar yang berpikiran maju, manusiawi dan bermutu.
Sungguh kita bisa belajar dari kearifan pesantren yang melaksanakan evaluasi pendidikan secara mandiri dan bersifat individual, di mana kualitas santri diukur dari aspek pengamalan ibadah, akhlak dan penguasaan keilmuan bidang studi (baca: kitab kuning) yang dipelajari santri. Bukanlah orang-orang besar seperti Nurcholis Madjid, Gus Dur, Hasyim Muzadi,Hidayat Nur Wahid dan lain-lain adalah produk pesantren. Bukankah pola pembelajaran pesantren telah ditiru oleh lembaga-lembaga pendidikan umum melalui model fullday school? Bukankah model pendidikan pesantren tetap bertahan di tengah arus modernisasi? Artinya, untuk melahirkan siswa yang bermutu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara instan seperti Ujian Nasional (UN), tetapi harus melalui cara integral, kontinu dan berkesinambungan sepanjang proses pembelajaran berjalan.***